Saya tertawa geli ketika melihat sebuah foto dipajang sobat kicaumania.org, Om Goesnadi (Goes KM), di wall facebook-nya. Dia memajang foto-foto burung lovebird dalam proses berubah warna. Dari warna lutino bagus menjadi warna luntur menyebalkan.
Yah itulah foto-foto lovebird warna antik karena semiran yang kemudian luntur setelah selang beberapa hari dipelihara. Konon, seorang temannya tertipu membeli burung itu dari seorang penjual di Solo. Makanya, sekali lagi, hati-hati dalam membeli burung.
Oke, berkaitan dengan pemunculan foto Om Goes KM itu, berikut ini ada artikel-artikel di Agrobis Burung yang membahas soal tipu-menipu di dunia “lovebird warna” yang perlu Anda waspadai agar tidak ikut-ikutan jadi korban.Sejak setahun silam, popularitas lovebird meroket dan meninggalkan kelas masteran lainnya. Bila kenari dulu dianggap berbanding lurus pamornya dengan si paruh bengkok, kini jelas kalah pamor. Mulai banyak yang memburu lovebird dan ramai-ramai ingin beternak.
Selain mudah dibreeding, burung lovebird juga bisa menjadi mesin pencetak uang potensial. Semua penghobi kicauan hingga peternak mengamini jenis ini paling mudah ditangkarkan.
Lovebird tak membutuhkan spesialisasi dalam mengembangbiakkannya. Berbeda dengan jenis kicauan lainnya seperti punglor kembang atau lainnya. Wajar bila sekarang penangkaran lovebird bisa dimulai dari rumah petak hingga gedongan.
Naiknya kasta jenis ini terstimulan dan ramainya para pemain di kontes. Nilai transfernya relatif tinggi. Bahkan di beberapa kota seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, mulai muncul para raja paruh bengkok.
Nilai transfer lovebird jawara pun mulai menggila. Bahkan Agrobur pernah merilis nilai transfernya hingga tembus ratusan juta rupiah. Kalau toh nilai ini riil terjadi, transfer tersebut menjadi tertinggi sepanjang sejarah bursa lovebird nasional.
Inilah foto-foto lovebird semiran ketika dibeli (gambar 1) kemudian dari waktu ke waktu berubah menjadi gambar nomer 2, nomer 3 dan 4. |
Segendang sepenarian dengan naiknya pamor di kontes dan diliriknya bisnis penangkaran, banyak yang memburu warna-warna antik. Sekadar tahu, hingga kini di Indonesia belum banyak yang melirik warna sebagai trend. Kecenderungan yang diburu materi lagu.
Kelebihan itu pula yang menjadi pertimbangan harga jual. Maklum, di Indonesia tidak ada kontes warna. Yang ada seni suara burung berkicau, di dalamnya termasuk si paruh bengkok ini.
Demam warna baru saja rnerasuk belakangan ini. Kalau toh dulu sudah banyak naik, trendnya tidak sebesar sekarang. Diperkirakan bergerak sejak pertengahan 2010 dan mulai banyak beredar warna antik ke pasaran.
Pasca trendnya terus meningkat, terus dicari informasi sebarapa besar perbendaharaan warna antik yang masuk ke lndonesia. Tapi, bagaimanapun masih adan kendala mendapatkan literatur yang valid untuk membukukan jenis-jenisnya. Lantaran keterbatasan sumber, hanya beberapa jenis saja yang masuk jenis antik.
Hanya dua jenis yang paling familier saat ini, yakni jenis blorok dan dakocan. Kedua jenis ini dianggap yang paling sering ditemui di pasaran dan keabsahan antiknya dapat dipertanggungjawabkan. Tapi ditandaskan, tidak menutup kemungkinan akan atau sudah ada muncul jenis baru.
Lantas bagaimana dengan warna antik yang membanjiri pasar saat ini, seperi lovebird kepala elang, blorok atau jenis lainnya yang mungkin Anda baru kali pertama melihat atau mendengarnya.
“Bagi penangkar, warna antik apa pun namanya pasti akan diburu. Kalau toh harganya mahal tapi masih bisa dijangkau pasti dibeli,” ujar salah seorang penangkar asal Bojonegoro.
Besarnya keinginan itu pula yang menguatkan dirinya membeli 8 pasang indukan produktif warna blorok dari Solo. Per pasang dibanderol Rp 4 juta. ”Saat melihat warnanya, gambaran di otak bakal muncul kelak warna-warna antik pada anaknya,” kata pria yang enggan disebutkan namanya.
Tapi, belum genap sepekan rasa curiga terhadap perubahan warna itu muncul. Keraguan makin menguat tatkala seorang rekannya memastikan calon indukan itu aspal alias asli tapi palsu.
“Hati-hati kalau beli lovebird dari Solo, banyak yang semiran khususnya yang warna antik,” ujarnya menirukan sahabat dekatnya.
Belum yakin dari penuturannya, Agrobur pun menelusuri Kota Pahlawan. Kota yang dikenal menjadi surganya para pemasok lovebird warna antik. Wartawan tabloid itu nyamperin Ronny Perkasa, salah seorang peternak sekaligus pemain papan atas dari Surabaya.
Sebelum Agrobur banyak menceritakan fenomena ini, Ronny langsung menangkap apa yang menjadi kegundahan para lovebird-mania. “Saya juga ketipu lovebird kepala elang dari Solo, ternyata itu burung semiran,” bebernya sambil menceritakan modus yang dilakukan pelaku.
Kala itu ia membeli dua warna antik, kepala elang dan nasa (muka putih dada biru muda). Per ekor dibanderol Rp l.750.000. Tapi, belum genap sepekan kedua burung tadi menunjukkan tanda-tanda keanehan. “Awalnya mata lovebird tersebut berair, terus ketika bulunya disemprot air, warnanya memudar,” sebutnya.
Sekitar sebulan ngendon di rumahnya, kedua lovebird warna antik tadi mati. “Wah, ketipu aku,” gerutunya.
Lantaran penasaran, disibaklah helai demi helai kedua burung tersebut.Ronny berkeyakinan warna antik itu dihasilkan dari rekayasa. Bulunya disemir dengan bahan kimia tertentu sehingga wama blorok tadi ditimbulkan dari semiran yang dikerjakan seorang ahli dalam menyulap bulu.
“Orang yang melakukan ini pasti sudah pengalaman, karena hasilnya relatif halus,” ujarnya
Seperti penuturan tentang pelakunya yang diceritakan Ronny, warna antik dalam jumlah besar relatif sulit masuk ke lndonesia. Bila ada pengiriman dari Belanda, jumlahnya pun tak lebih dari dua ekor.
“Bila ada pengiriman dari Belanda, paling banter satu kota hanya dua ekor yang warnanya antik,” ujar Ronny menirukan penjual tadi.
Anehnya, setiap pesanan yang masuk melalui dia nyaris selalu tersedia. “Kalau memang alasannya seperti tadi, logikanya kan nggak banyak beredar warna antik. Tapi kalau kita mau pesan ke dia, pasti dijawab siap untuk dikirim”
Efek domino dari kedua lovebird tadi, 20 ekor hasil ternakannya-tertular mata-berair. Wah? (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar